ThinkingBread72's Profile
- Last Online4 hours ago
- GenderMale
- BirthdayApr 14, 2004
- LocationIndonesia
- JoinedOct 5, 2019
RSS Feeds
Statistics
Anime Stats
Days: 84.4
Mean Score:
6.89
- Total Entries365
- Rewatched10
- Episodes4,962
Manga Stats
Days: 23.9
Mean Score:
7.22
- Total Entries43
- Reread0
- Chapters3,912
- Volumes355
Last Manga Updates
Tomie
Completed
20/20
· Scored
8
Favorites
Anime (1)
Manga (2)
Character (6)
All Comments (81) Comments
Yoroshiku :)
Kemarin, gua berkesempatan untuk menonton Across the Spider-verse dan gua harus mengakui bahwa itu meninggalkan kepuasan yang mendalam. Sungguh pengalaman yang luar-biasa. Sebuah prestasi dalam kreativitas manusia, melampaui batasan animasi konvensional dan menjelajahi wilayah seni yang belum terjamah sebelumnya. Keindahan visualnya semata membuatnya menjadi film yang wajib untuk ditonton, terutama mengingat kekaguman mendalam lu terhadap Puss In Boots, sebuah film yang mengambil inspirasi dari Into the Spider-verse. Tonton sesegera mungkin!!
Oshi no Ko memiliki kerangka konseptual naratif yang menarik, namun dieksekusi seperti visual novel, tanpa henti memberikan ekspositori yang jarang memberikan gambaran tentang inti permasalahannya. Setiap perkembangan penting dipermainkan dan dijelaskan secara berlebihan. Karakter duduk berjam-jam selama durasi yang memanjang dan membosankan berbicara tentang perasaan mereka, tapi gak memberikan alasan untuk terlibat dengan mereka atau nasib mereka karena kekhawatiran utama bukanlah menciptakan narasi karakter yang berkesan, melainkan menyusun bagian-bagian untuk akhirnya mencapai sequence di mana seorang karakter sampai pada pemahaman yang mendalam dan memberikan pidato emosional yang memilukan melalui air mata dan tangisan sehingga penonton akan menulis frasa cringe seperti "Sungguh anime yang dark" Seperti mayoritas anime kontemporer lainnya, OnK memiliki keinginan untuk menghasilkan dampak emosional, dengan memanipulasi musik untuk menciptakan rasa "perasaan emosional" yang dangkal pada titik-titik momen untuk menghasilkan aura sentimentalitas. Namun, dengan malangnya ia gak memiliki pengetahuan yang cukup untuk menciptakan resonansi tematik yang koheren, karena fokusnya terlalu terpaku pada menciptakan momen klimaks yang hanya secara permukaan membangkitkan emosi, sementara mengabaikan fondasi arsitektur naratif yang diperlukan untuk keterlibatan emosional yang autentik. Tentu, kekurangan semacam itu mungkin dapat dikompensasikan jika "penulisan cerita" menjadi daya tarik yang menonjol. Namun, twist dan perubahan tone yang dipasarkan ternyata gak ada, meninggalkan narasi yang datar dan predictable; semuanya hanya terasa seperti upaya awal dalam menceritakan kisah yang matang.
Semuanya begitu statis dan bertele-tele sehingga memberikan sensasi aneh, seolah kehidupan para tokohnya adalah kehidupan yang gak ada artinya, tanpa gangguan eksternal selain beberapa klise monoton yang merujuk pada diri sendiri. Di antara penumpang biasa, selalu ada seorang gadis yang dalam kesulitan yang diberikan kabin kelas satu, penampilannya begitu menarik sehingga membuat tetangganya melupakan asal-usulnya dan mengabaikan kepribadiannya yang sebenarnya. Gadis ini dikenal sebagai nama Waifu, dan fitur desain superfisial permukaannya telah digunakan sebagai umpan marketing berkali-kali. Ini merupakan seluruh daya tarik dari Oshi no Ko. Dalam semua kemalasannya, eksekusi konsepsual yang buruk, kekosongan substansi, dan "simbolisme" scatological-nya, Oshi no Ko menjadi perwujudan simbolis seperti yang gua sampaikan di awal. Ia menjanjikan sebuah perjalanan intropektif namun berubah menjadi jalur yang penuh dengan unsur klise dan eksposisi yang monoton.
Subtext dalam OnK mengangkat diskusi tentang kebohongan dan konsekuensinya. Oshi no Ko secara spesifik mengkritik hubungan parasosial. Ia berusaha menciptakan kritik sosial dalam masyarakat Jepang kontemporer, menyelidiki aspek-aspek gelap budaya idol dan hubungan parasosial. Dimensi ini seharusnya memungkinkan naratif untuk melampaui batasnya, berubah menjadi cermin yang mencerminkan masalah-masalah sosial. Namun ternyata dalam sekejap ia kehilangan pijakan dalam usahanya yang berlebihan untuk memberi fanservice terhadap demografik, meruntuhkan sekaligus berkontribusi dalam isu sosial yang ingin dikritiknya. Gak ada nada filosofis tentang kebenaran dan kebohongan dalam hubungan manusia modern yang dapat ditemukan disini, hanyalah "kesadaran diri" yang pretensius dan lusinan gadis imut.
Gua gak keberatan dengan premis apapun, asalkan dieksekusi dengan baik. Namun dalam Oshi no Ko; elemen reinkarnasi dengan cepat berubah menjadi plot device yang usang. Ia gak memberikan kontribusi naratif yang memperkaya dan ditinggalkan untuk alur cerita yang hambar. Seluruh substansi anime ini yang berupaya mengungkap sisi gelap industri hiburan menjadi datar karena seringkali dijebloskan ke dalam rangkaian adegan eksposisi yang kering. Tiap eksposisi dituangkan secara blak-blakan, tanpa terlihat mengeluarkan effort sedikit pun; orang-orang berbicara di background dengan gamblang untuk memberikan informasi kepada penonton tentang situasi lingkungan dunia industri hiburan tanpa subtetly, ataupun effort kreatif apapun untuk meminimalisir ekspositori yang mencolok. Ini tampak seperti sang penulis secara gak langsung meneriakkan "Lihatlah kritik sosial yang aku sisipkan!!” dan berharap mendapatkan pujian dan perhatian dari kritikus.
Oshi no Ko dapat dibilang sebuah anti-thesis dari Perfect Blue, atau mungkin dapat dipandang sebagai modernisasi dari Perfect Blue, sejalan dengan bagaimana Evangelion Thrice merusak esensi pesan anti-escapism dan akhirnya melakukan yang sebaliknya untuk audiensnya, menciptakan lebih banyak eskapisme. Gua akan menggunakan Perfect Blue sebagai contoh untuk membantu kritik gua terhadap Oshi no Ko dengan alasan keduanya mengangkat tema dan subtext yang sama; sebuah dekonstruksi genre idol yang mengungkap sisi gelap industri hiburan. Dengan penekanan khusus pada dikotomi antara kepribadian yang palsu dan persona yang otentik.
Oshi no Ko sebagai anti-thesis dari Perfect Blue:
Karakter Hoshino gagal dalam menyampaikan kritik yang substansial terhadap industri hiburan (Masih dapat diperdebatkan) Dia kekurangan perjuangan individu yang sejati, gambaran idol yang disensor, terlalu teridealiskan, yang melemahkan kritik yang dimaksudkan oleh naratif industri tersebut. Niat yang dinyatakan untuk mengungkapkan kegelapan industri hiburan menjadi sia-sia dengan penggambaran karakternya. Ai bertindak seperti karakter yang gak realistis, sebuah karikatur dari idol yang sempurna. Gabungan dari sifat-sifat buatan yang disajikan sebagai persona otentik. Karakter Ai lebih merupakan hasil fabrikasi industri daripada individu yang sejati. Kita gak pernah melihatnya sebagai sesuatu yang berbeda dari Ai di atas panggung, baik karena bagian itu gak ada, atau karena itu begitu terjalin dengan dirinya sehingga memisahkan keduanya bahkan gak penting. Ini adalah sesuatu yang meresap dan menjadi masalah yang konstan sepanjang episode pertama. Dalam "Perfect Blue," metamorfosis Mima dari seorang idol pop terkenal menjadi seorang aktris digambarkan dengan brillian, menampilkan perjalanan berliku dalam melepaskan lapisan tiruan dan merangkul hakikat sejati seseorang. Perfect Blue dengan cerdik menjelaskan konsekuensi dari menjalani kehidupan palsu, di mana batas antara kenyataan dan fantasi menjadi kabur, menyebabkan penderitaan psikologis dan memecah identitas seseorang. Jaringan hubungan yang rumit yang digambarkan dalam "Perfect Blue" berfungsi sebagai katalis untuk introspeksi, memungkinkan penonton untuk merenungkan dampak mendalam dari dinamika sosial terhadap pencarian otentisitas seseorang. Penggambaran persona idol Mima adalah murni, polos, dan dibangun dengan hati-hati - suatu kontras yang tajam dengan manusia yang imperfect dan multidimensi di baliknya. Hoshino dalam "Oshi no Ko" gagal secara memadai menghadapi kompleksitas yang terkait dengan tema ini. Dia gak pernah bukan seorang gadis idol. Satu-satunya saat kita benar-benar melihat masa lalunya adalah ketika dia berbicara dengan manajernya dan dia menyebutkan bahwa dia adalah seorang pembohong. Selain itu, kita gak tau apa pun tentang masa lalunya. Apa yang membuat gua bingung adalah ketika dia ingat nama stalker itu lebih baik daripada nama anak-anaknya sendiri dan dia bahkan tak terlihat terpengaruh oleh kenyataan bahwa ada seseorang yang datang untuk membunuhnya dan anak-anaknya dalam bahaya. Bahkan di saat-saat sekaratnya, dia tak dapat bertindak dengan cara apa pun yang menunjukkan kerentanannya sebagai manusia. Karakter Hoshino gak disajikan sebagai individu yang nyata dan multi-dimensi melainkan sebagai 'waifu' yang derivatif. Naratif tanpa sadar mengajukan pertanyaan yang ingin ditantangnya: Apakah idol hanyalah prop? Keteguhan persona idol dengan mengorbankan perkembangan karakter memunculkan pertanyaan tentang sifat penggambaran dan identitas. Ini menjadi sebuah kritik bukan terhadap industri idol tetapi terhadap naratif itu sendiri. Apa yang benar-benar membuat gua terganggu dan jengkel adalah ketika Hoshino mengatakan "Bahkan sekarang masih aku ingin mencintaimu" kepada orang yang datang untuk membunuhnya. Ini benar-benar terasa seperti dia ditulis untuk mempertahankan fantasi tentang idol yang mencintai penggemarnya. Untuk tujuan apa lagi dia mengatakan itu selain untuk menyenangkan penggemar idol? Anime ini pengecut dalam pendekatannya karena bahkan gak membiarkan Hoshino menjadi dirinya sendiri. Apa sebenarnya tujuan menunjukkan sisi gelap industri ini jika lu akan membuat karakter paling penting dalam episode pertama menjadi waifu anime dan bukan manusia sejati? Apakah orang-orang dalam industri eksploitatif ini gak pantas mendapatkan cerita di mana mereka digambarkan sebagai manusia yang sebenarnya? Bahwa mereka adalah lebih dari sekadar idol yang ditampilkan di atas panggung dan di atas kontrak-kontrak idol ini. Atau apakah mereka gak lebih dari sekadar properti yang dibuat untuk konsumsi massal? Dalam Perfect Blue kita diperlihatkan bagaimana persona buatan tersebut merusak kewarasannya, saat ia berjuang untuk membedakan antara yang nyata dan yang gak nyata. Penggambaran mengenai krisis identitas ini menjadi kritik terhadap industri idol dalam mengkomodifikasi individu. Mima bukan sekadar 'waifu'; dia adalah karakter yang dikembangkan dengan baik yang menggambarkan sisi gelap industri hiburan dengan cara yang gagal dilakukan oleh Hoshino.
Separuh awal episode pertama Oshi no Ko merupakan pengalaman yang melelahkan sekaligus memalukan mendengarkan eksposisi dialog dan narasi yang benar-benar bodoh. Pembicaraan antarkarakter selalu terdiri dari; Foreshadowing yang disampaikan secara terang-terangan, pengulangan tanpa henti tema dominan tentang kebohongan, atau paparan berkelanjutan yang menjelaskan mekanisme dinamika industri hiburan dan sisi gelapnya. Seperti yang gua sebutkan sebelumnya, tidak ada subtetly yang terkandung dalam eksposisi tersebut. Akibatnya, dialog seringkali menjadi repetitif, tidak alami, dan dipaksakan. Alur cerita, meskipun kadang-kadang terjatuh pada kesalahan logika dan mengalami ketidakseimbangan dalam ritme, masih dapat diterima. Namun, ketergantungan terlalu berlebihan dalam "shock value" mengurangi kualitasnya karena adanya foreshadowing yang terbuka dan sangat jelas. Pada akhirnya, Oshi no Ko secara gak sadar memperpetuasi siklus konsumsi yang ingin ditantanginya, mengubah dirinya sendiri menjadi sebuah pertunjukan di atas panggung ironi. Karakter-karakternya bagaikan boneka-boneka waifu yang menari mengikuti alur narasi besar dengan implikasi mengerikan yang gagal dikritiknya. Karakter-karakter yang dangkal - idol yang tanpa jiwa dan protagonis yang hampa. Karakter-karakter ini menjadi wadah bagi subtetks konsumeris yang merajalela. Namun, mereka tak dapat menahan diri untuk tidak mempersembahkan subjek-subjeknya sebagai produk konsumsi, sehingga menjadi sejalan dengan eksploitasi sistematis yang ia ingin ungkap. Mereduksi karakter-karakternya menjadi sekadar objek keinginan bagi otaku. "Oshi no Ko" adalah sebuah karya ironi yang terjebak dalam dikotominya - menjadi sebuah simulakrum dari kritik yang ingin diwakilinya.
Pada akhirnya, subtext yang digunakan dalam menghadirkan konten tematik terlihat sempit dan dipaksakan, membutuhkan upaya intelektual yang minim dari para penonton. Setiap komposisi musik dan potongan dialog tampaknya diatur dengan tujuan tunggal untuk memanipulasi emosi penonton - saklar yang diatur untuk memeras setiap tetes air mata terakhir. Gua gak keberatan terhadap narasi yang gagal, asalkan ia memberikan sedikit hiburan. Namun, sayangnya, Oshi no Ko gagal menyediakan bahkan penghiburan tersebut. Jokesnya selalu miss dan cringe. Gua hanya tertawa pada momen-momen intense yang terlihat buruk, dipaksa dan artifisial. Gua gak merujuk pada kematian Hoshino, melainkan tindakan Hoshino pada saat ia ditikam oleh stalker. Itu adalah momen paling menghibur dalam seluruh 4 episode ini.
Seorang Idol populer terperangkap dalam sebuah skenario yang mengerikan - tertusuk oleh seorang stalker di bagian organ vital tubuhnya yang kemungkinan akan merenggut nyawanya, sementara anaknya berdiri di sampingnya. Apa yang akan menjadi respons spontan dia dalam keadaan yang mencekam seperti ini?
A. Merasakan dorongan kuat untuk melindungi anaknya yang sedang berada dalam situasi berbahaya.
B. Berjuang dengan rasa sakit yang menyiksa, berusaha keras untuk mencari keselarasan dengan realitas, dan syok yang merasuk ke seluruh pikirannya.
C. Menanggung penderitaan, membiarkan anaknya menyaksikan pertunjukan yang mengerikan ini, dan menggunakan setiap energi yang semakin berkurang untuk meluncur ke dalam monolog pidato yang paling koheren tentang dirinya sendiri, tanpa ragu mengidentifikasi pembunuhnya (meskipun dia diketahui kesulitan mengingat nama-nama), dan menyatakan cintanya kepada stalker yang baru saja mencoba membunuhnya.
Setelah ini, alur ceritanya semakin terjerumus ke tingkat absurditas yang semakin tinggi, hingga akhirnya gua memutuskan untuk berhenti menonton saat mencapai episode 4.
Yes. Gua udah ada rencana minggu ini.
Sungguh premiere yang mengerikan. Gua bisa menulis satu buku hanya untuk mengkritik Oshi no Ko. Namun, gua gak bisa nulis sekarang karena sudah larut malam. Gua akan berusaha untuk mengungkapkan beragam kritik gua besok karena besok libur sehingga memberikan momentum yang tepat bagi gua untuk mengekspresikan pandangan-pandangan gua.
Setelah melihat watchlist lu, gua sangat merekomendasikan untuk menonton All About Lily Chou-Chou karya Shunji Iwai. Tenang saja, kali ini lu pasti akan menyukainya. Secara pribadi, gua merasa sangat relate dengan karakter-karakternya dan penggalian tentang perasaan terputus yang tertanam dalam inti tema film ini. Lily Chou-Chou benar-benar film yang menyentuh dan memiliki realitas yang begitu relevan dengan eksistensi gua sendiri. Realisme yang menyelip dalam visi artistik Shunji Iwai gak boleh diabaikan. Jika lu ingin tau bagaimana rasanya ditusuk, silahkan tonton All About Lily Chou-Chou.
Cukup rumit untuk merekomendasikan A Space Odyssey, jadi gua akan sedikit bercerita. Ketika menanyakan pendapat A Space Odyssey kepada seorang cinephile, ada kemungkinan besar bahwa ia akan menyatakan A Space Odyssey sebagai film terbaik yang pernah ada dan ketika menanyakan hal yang serupa kepada seorang penonton kasual, ia akan mengatakan bahwa A Space Odyssey adalah film yang membosankan. Itu adalah perumpamaan yang menunjukkan perbedaan pendapat dan persepsi antara seorang cinephile dan penonton kasual. Dua pandangan ini mencerminkan cara yang berbeda dalam menghargai film tersebut dan keduanya gak salah. Gua memiliki temen yang seorang penonton kasual, suatu hari ia memutuskan untuk menonton A Space Odyssey karena melihat gua sangat menyukai filmnya (Gua sama sekali gak merekomendasikan apapun ke dia). Namun setelahnya, ia mengatakan kepada gua, bahwa A Space Odyssey adalah film yang sangat membosankan dan dia gak sanggup untuk menamatkannya, ia bahkan tertidur 11 kali saat menonton A Space Odyssey. Kemudian gua merespon dengan mengatakan bahwa “kebosanan” yang dialaminya adalah bagian integral dari keseluruhan pengalaman menonton film tersebut dan gak bisa dipisahkan dari keindahan dan nilai seninya. Rasa bosan ini menjadi komponen penting dari nilai artistik film tersebut. Dengan menimbulkan perasaan bosan, Kubrick memaksa penonton untuk menghadapi kekosongan dan luasnya ruang angkasa, membangkitkan perasaan isolasi kosmik yang sangat penting untuk tema film. Pacing yang sengaja lambat gak hanya memungkinkan untuk lebih terbenam dalam dunia film tersebut, tetapi juga mendorong introspeksi dan kontemplasi.
Jika mengajukan pertanyaan "Apa yang membuat A Space Odyssey bagus?" maka lu akan dipertemukan dengan berbagai macam jawaban yang berbeda. Ada orang yang berpendapat bahwa film ini luar biasa karena penggunaan visual dan skor latar yang memukau, ada orang yang menghargai tema filosofis dan visi dari Kubrick, ada orang yang mengatakan bahwa film ini memiliki penulisan yang brillian dan sebagainya. Namun, gua akan menjawab bahwa semua aspek dari A Space Odyssey itu irrelevan. Gua memberi rating sempurna kepada A Space Odyssey bukan karena visual, skor, tema, plot atau elemen lainnya. Lalu kenapa? Izinkan gua menjelaskan pandangan gua dan apa yang membuat gua mengapresiasi A Space Odyssey. Gua juga merasa bahwa film ini membosankan pada beberapa waktu, dengan pengambilan gambar yang panjang dan minim dialog. Namun, gua percaya bahwa aspek film ini hanya sebagian kecil dari gambar yang jauh lebih besar dan rumit. Gua menghargai A Space Odyssey karena dampak yang luar biasa dan pengaruh revolusioner yang dimilikinya. Terdapat alasan yang mendasari mengapa "A Space Odyssey" senantiasa menjadi bagian dari kumpulan film favorit bagi hampir semua sutradara film; hal ini mencerminkan betapa karya tersebut dianggap penting dan berpengaruh dalam industri sinema. A Space Odyssey berhasil mengubah paradigma storytelling dan pengarahan film yang selama ini dianggap sebagai norma. Karya ini memberikan kontribusi besar terhadap lanskap sinema dan memengaruhi banyak medium seni lainnya, memperlihatkan kekuatan sinema sebagai medium yang mampu menantang batas-batas kreativitas dan membentuk dunia sinema sebagaimana kita kenal saat ini. Sementara ada banyak film lain yang membahas tema-tema filosofis dengan lebih mendalam daripada A Space Odyssey, namun dapat dikemukakan bahwa keberadaan film A Space Odyssey telah membuka jalan bagi film-film tersebut untuk terwujud. Dengan melepaskan diri dari norma-norma narasi tradisional, A Space Odyssey membuka jalan bagi generasi baru untuk mengeksplorasi batas-batas sinema sebagai bentuk seni. Gua adalah seseorang yang sangat menghargai seni dalam berbagai bentuknya. Keberadaan seni membuat hidup gua menjadi bermakna. Tanpa seni, maka hidup gak memiliki makna apapun. Dengan begitu, A Space Odyssey sebagai karya revolusioner yang mempengaruhi seni secara keseluruhan memiliki tempat istimewa di hati gua. Gua sangat menghargai keberanian Stanley Kubrick untuk menantang konvensi dalam filmmaking. A Space Odyssey adalah contoh sempurna dari bagaimana seni dapat memengaruhi pandangan kita tentang dunia dan membuka jalan bagi pertanyaan-pertanyaan filosofis yang mendalam. Seperti seni pada umumnya, film ini menginspirasi kita untuk melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda, merenungkan tujuan hidup kita, dan mempertanyakan makna dari segala hal. Sebagai penggemar seni, gua merasa bahwa A Space Odyssey memiliki nilai seni yang sangat tinggi dan patut dihargai sebagai sebuah karya monumental yang telah memengaruhi dunia seni secara luas dan jangka panjang. Namun demikian, menurut gua, film ini wajib ditonton oleh setiap penggemar film hanya karena karya ini menandai momen transformasi dalam industri sinema dan gua sudah memberi peringatan kepada lu bahwa ini adalah film yang akan membuat lu merasa bosan, sehingga lu dapat bersiap diri dengan tepat.
Berbeda dengan lu di dalam bioskop gua suasananya sangat sunyi, hanya ada gua dan dua cewek yang duduk di sebelah gua. Jujur gua jadi ikutan emosional karena dia nangis menjelang akhir film. Ya gua bingung mengapa orang-orang ketawa saat momen yang essensial itu, bahkan teman gua menyebutnya sebagai momen paling lucu dan sepanjang runtime hanya ketawa pada scene itu saja.
Ah yes, Omori, game kesukaan setiap wibu. Ya, gua memiliki rekomendasi game-game gratis yang bisa langsung lu coba, tetapi ini hanya untuk platform windows:
Yume Nikki, game 2D favorit gua pribadi. Pada dasarnya Tenshi no Tamago versi video-game; Kental dengan gaya surreal dan eksperimental, grafis minimalis dengan atmosfir yang introspektif dan psikologis, memiliki berbagai penggunaan simbol yang abstrak, gak memiliki plot dan sangat bergantung pada interpretasi terbuka.
The Legend of Zelda, Meskipun cukup outdated, tetapi masih enjoyable. Salah satu game masa kecil yang paling memorable dan bahkan gua masih sering berkunjung kembali untuk bernostalgia. Silahkan mulai dari Ocarina of Time kemudian sekuelnya Majora’s mask dan terakhir, Twilight Princess (Meskipun gak secara langsung terkait dengan OOT, tetapi karena memiliki beberapa kemiripan maka gua masukin ke list). Oh iya ini game Nintendo 64 jadi lu perlu menggunakan emulator untuk memainkannya. Gua sarankan untuk menggunakan Citra Emu dan kalau bisa pakai controller.
Silent Hill, Game favorit gua selama beberapa Tahun yang kemudian digantikan oleh Outer Wilds. Lu sebagai pemain PS2 pasti pernah dengar mengenai game ini karena dulu cukup populer dikalangan remaja. Game horor tetapi, bukan sekedar horor biasa, penuh dengan twist dan akan membuat otak lu nge-blank. Intense dan memiliki atmosfir yang mencekam. Silent Hill juga punya latar belakang yang rumit, atmosferik, dan dipenuhi oleh konspirasi dan simbolisme. Game yang wajib dimainkan bagi veteran pemain PS2 seperti lu.
Gua juga memiliki game-game berbayar yang sangat direkomendasikan untuk dimainkan. Well, gua dapat memahami bahwa lu mungkin gak mau mengeluarkan uang untuk membeli game, namun setidaknya lu bisa mencoba mencari versi bajakannya:
Katana Zero, Game dengan gameplay fast-paced yang sangat statisfying dan brutal. Lu akan memainkan karakter yang memiliki kekuatan slow-motion dan setiap kill akan terasa statisfying.
Persona 4 Golden, Game Persona terbaik dan jauh lebih bagus dari Persona 5. Misteri yang menarik dan elemen sosial simulator yang dinamik. Memiliki cerita dan karakter yang kompleks serta dunia yang terasa lebih hidup dari Persona 5.
Hollow Knight, Game Indie terbaik di Tahun 2017 disamping Cuphead. Memiliki sistem charm yang fresh serta map yang sangat luas dan kompleks. Entah kenapa World-buildingnya mengingatkan gua kepada Tenshi no Tamago.
Rekomendasi lainnya: Celeste, Cuphead, Portal, The Stanley Parable, Inside, Little Nightmare, Manhunt, dan Final Fantasy VI.
Understandable. Gua secara pribadi gak pernah mempermasalahkan itu, kecuali jika itu bersifat eksploitatif. Satu-satunya hal yang dapat membuat gua merasa terganggu adalah subjek pedofilia, seperti contoh yang ditampilkan dalam film Netflix “Cuties” dan anime “Mushoku Tensei” Meskipun "Cuties" menyajikan kritik yang menarik terhadap hiper-seksualisasi pada kaum anak muda, tetapi juga secara gak langsung berkontribusi dalam hal tersebut dengan menampilkan adegan-adegan eksplisit yang sangat disturbing hingga mendapat reputasi negatif, gua pun sampai gak kuat untuk menamatkannya. Sementara Mushoku Tensei merupakan sebuah cerita redemptive dengan niat yang baik, namun dipresentasikan dengan cara yang buruk dan offensif. Dalam pandangan gua; sebenernya subjek apapun dapat terjustifikasi asalkan ditangani dengan baik. Depiksi topik yang sensitif perlu ditangani dengan hati-hati dan pertimbangan, dan cara penceritaannya perlu diatasi dengan cara yang tidak eksploitatif atau tidak berlebihan. Sebagai contoh, Pedofilia dapat digunakan untuk menyoroti sifat dunia dystopia yang amoral dengan berfungsi untuk mengilustrasikan kekejaman atau kegilaan yang ada di dunia tersebut. (Sorry jadi terbawa suasana dan keluar dari topik) Anyway, untuk The Handmaiden, lu bisa skip dan coba tonton karya terbaru dari Park Chan yaitu Decision to Leave, meskipun menurut gua cukup underwhelming dibanding karya lainnya.
Oh iya, sepertinya gua lupa untuk memberi tahu lu bahwa Landscape in the mist adalah film slow-burn yang kontemplatif dan membutuhkan waktu yang lama untuk membangun ceritanya, seharusnya gua beri tahu lebih awal. Untuk ratingnya, gak perlu minta maaf karena rating itu pasti selalu memiliki bias. Penilaian dapat mengandung alasan-alasan yang objektif, tetapi pada akhirnya, setiap verdict akan selalu subjektif. Apalagi sifat subjektif dari pengalaman pribadi sangatlah relevan ketika membahas film seperti "Landscape in the Mist." Gua sendiri relate secara emosional dan spiritual dengan perjalanan mereka mencari sosok keberadaan ayah, bukan karena gua mencari seseorang atau karena gua gak memiliki figur ayah, melainkan gua menafsirkannya sebagai metafora pencarian manusia untuk menemukan tujuan dan makna dalam dunia yang absurd dan kacau. Gua melibatkannya dengan komponen spiritual atau religius dari diri gua, Landscape in the mist seperti mengajak gua merenungkan keyakinan gua sendiri dan pencarian akan pemenuhan spiritial atau eksistensial, menunjukkan bahwa mungkin ada cara alternatif untuk menemukan makna dan tujuan di luar pencarian tradisional untuk keberadaan Tuhan. Tentu ada aspek lain yang membuat gua sangat menyukai filmnya, tetapi gak akan gua bahas lebih lanjut. Berdasarkan akun Letterboxd lu, gua melihat bahwa lu sudah rewatch EEAO. Apakah lu sempat menontonnya di bioskop? Gua menanyakan hal ini karena gua berkesempatan menghadiri pemutaran ulang EEAO di CGV pada tanggal 30 bulan lalu, dan itu adalah pengalaman sinematik paling luar biasa yang pernah gua alami disamping Gintama: The Final.
Mobile legend dan Genshin Impact, keduanya adalah game yang paling gua benci dengan alasan yang kurang lebih sama dengan lu. Gua bisa memahami bahwa lu saat ini lebih memilih untuk menonton film dan anime daripada bermain game karena kesibukan kuliah. Gua sendiri juga merupakan orang yang cukup sibuk, bahkan seminggu terakhir ini gua memiliki jadwal yang padat, namun berbanding terbalik dengan lu, saat sedang sibuk, gua gak sempat menghabiskan waktu untuk menonton film dan hanya dapat menyempatkan untuk menonton satu episode serial TV atau anime saja, sisa waktu senggang gua habiskan untuk merehatkan mental dengan bermain video-game atau membaca buku. Gua biasanya menghindari menonton film karena jika terpaksa berhenti di pertengahan akan menghancurkan immersion. Gua sungguh berharap lu memiliki kesempatan untuk memainkan beberapa game yang lu sebutkan, karena memang itu merupakan judul-judul yang sangat bagus, tetapi jangan salah, perangkat mobile juga memiliki koleksi game-game bagus untuk dimainkan, salah satunya; Ace Attorney, Gris, Terraria, Stardew Valley, Harvest Moon: BTN, Before Your Eyes, dan bahkan Half-life 2 sekarang sudah tersedia di Android. Bukankah lu memiliki laptop? Jika mau gua dengan senang hati akan memberikan beberapa rekomendasi game low to mid-range.